July 28, 2007

Something Decent Called Originality

Baru-baru ini saya menemukan sebuah fenomena menakjubkan.
Fenomena ini sudah pernah beredar di dunia beberapa waktu lalu, jadi mungkin anda sudah pernah mendengar tentangnya. Atau justru menemukan sendiri fenomena ini dan terkejut sendiri. Saya sendiri terkesima. Terguncang.

Mari kita mulai.

Apa anda tahu grup musik The Donnas? Sejarah singkatnya, grup musik rock ini berasal dari Amerika Serikat dan mengeluarkan album pertamanya pada tahun 1997. Yang unik dari grup ini adalah anggotanya yang semua wanita (Brett Anderson, Torry Castellano, Maya Ford, dan Allison Robertson) dan nama panggilan yang diberikan untuk tiap personilnya (dan digunakan sampai tahun 2004) yaitu "Donna A", "Donna C", "Donna F", dan "Donna R", yang digunakan mengikuti nama keempat personilnya sendiri. Keempat wanita ini telah memproduksi enam buah album, dan album terakhir berjudul Gold Medal dirilis tahun 2004. Seperti inilah sampulnya.



Nah, sekarang mari lupakan The Donnas sejenak.

Anda pernah dengar grup vokal Dewi-dewi, bukan? Bagi yang belum, saya ceritakan sedikit. Grup ini bentukan dan asuhan Ahmad Dhani, personil grup band Dewa 19. Anggota-anggotanya diambil dari pemenang-pemenang kontes pencarian bakat yang diprakarsai oleh Dhani sendiri, dan muncul dengan lagu hit "Dokter Cinta". Kalau mau tahu wajahnya, mereka model iklan produk elektronik IOTO keluaran Sharp. Tahun ini (2007) mereka mengeluarkan album perdana yang diberi judul "Recycle+". Apa anda sudah beli? Atau paling tidak, melihat sampul albumnya? Kalau belum, ini dia:


Nah.

Apa anda melihat apa yang saya lihat?
Ya.
Kedua album ini bersampul mirip.
Bukan mirip lagi, tapi sama.

"Ngga ah... Ada bedanya kok.." Kata orang-orang yang menolak percaya.
Oke, memang ada perbedaan. Yang bikin mereka beda adalah jumlah personil, tingkat kecerahan warna, letak dan desain nama grup, dan logo SCTV yang mengganggu itu.

Selebihnya, persis. Konsepnya. Warnanya. Perhatikan gelembung2 warna jingga dan biru itu. Bahkan bentuk rambut personil di sebelah kanan pun SAMA.

Dan menurut berita yang dipublikasikan detik.com ini dan ini, mereka ngga berniat nyontek.
Sesaat... Saya coba berpikir positif dan ngga su'uzhon.
Tapi.. kok sulit sekali ya.

Maaf ya, mas Tetan Cobain (desainer sampul ini, entah namanya orisinil atau dia penggemar Kurt Cobain). Saya kok kurang percaya kalo desain mas ngga "terinspirasi" dari desain sampul The Donnas ini.

July 11, 2007

Biar Dunia Semakin Berwarna

Baru-baru ini saya merasakan langsung yang namanya diskriminasi dan ‘pengecapan’ terhadap satu komunitas. Kalau biasanya saya hanya mendengar atau menyaksikan diskriminasi, kali ini saya mengalami sendiri ‘pengecapan’ itu.


Soul For Indonesian Earth

Ceritanya begini. Sabtu lalu, tanggal 7 bulan 7 tahun 2007, saya, kakak, dan beberapa teman datang ke acara Soul For Indonesian Earth (SoulFIE) yang diadakan di Senayan. Disana, ada sekitar 50-an grup musik dan penyanyi yang tampil untuk sekalian kampanye tentang pencegahan pemanasan global (Salut banget! Kampanye ini saya dukung banget!). Dari sekian banyak artis (Maliq, Glenn, The Adams, Project Pop, Naif, Gita Gutawa, Tompi, Marcell, Cokelat, Ras Muhammad, dan masih banyak lagi. Tiket cuma Rp25.000,00. Yang ngga dateng, rugi banget. :D), yang paling saya tunggu-tunggu adalah penampilan band yang terkenal akan kostum berwarna-warni mencrang (=terang) dan a la jaman dulu, The Upstairs.

Saya bilang pada teman-teman, saya datang untuk The Upstairs. Hadir untuk berdansa bersama mereka. Beberapa teman saya tertawa, mungkin mengira saya bercanda. Atau mungkin belum percaya. :) Satu teman lagi bahkan melongo tak percaya. Mempertanyakan keseriusan saya. Dan berkali-kali menanyakan ulang, “Lo serius suka The Upstairs?”

Awalnya saya ketawa aja. Menertawakan ketidakpercayaan mereka. Setelah saya ditanya hal yang sama beberapa kali, saya mulai kesal. Memang kenapa sih?


“Untuk dinikmati kaum rendahan”

Dari pertanyaan-pertanyaan dan mimik wajah teman yang saya lihat inilah saya semakin yakin, bahwa The Upstairs adalah salah satu band yang mendapat cap negatif dari masyarakat umum yang bukan penggemar mereka. Kesan yang saya dapat dari teman saya, The Upstairs itu band untuk kaum rendahan yang penggemarnya otomatis kaum rendahan juga. Komunitas penggemar The Upstairs itu vandalis. Suka mengacau. Dipermanenkan seperti itu.

Akibatnya, orang dari kalangan berbeda seakan ‘dilarang’ menyukai The Upstairs. Musik mereka ngga ‘berkelas’. Musik yang ditahan petugas ketika hendak melewati sensor pintu pergaulan kelas menengah. Sampai dibuat ruang khusus untuk mengisolasi pendengarnya yang bukan dari kelas sosial tertentu. Begitu parahnya diskriminasi sosial yang terjadi di masyarakat urban saat ini, sampai musik pun dibuatkan kelas berdasarkan pendengarnya.

Padahal, kan ngga semua penggemar The Upstairs kayak yang saya sebut di atas. Ngga semua vandalis. Bahkan, kebanyakan hanya ingin berdansa. Contohnya di acara kemaren (SoulFIE), Modern Darling yang datang ngga ada yang bikin rusuh kok... Sayangnya cap 'pengacau' itu udah dibubuhkan kepada para Mod oleh beberapa kalangan yang menilai berdasarkan satu kejadian aja...

Padahal (lagi), selera musik kan selera pribadi. Apresiasi terhadap musik ngga bisa dikekang. Pilihan orang terhadap musik yang didengarnya ngga boleh dibatasi. Mengutip pendapat teman saya tentang film yang awalnya tidak saya setujui: “Boleh aja lo menilai sebuah karya itu bagus/nggak. Karena ada kriterianya.” Misalnya, lagu “ABCDEFG” itu jelek, karena harmonisasi gitar dengan vokal yang ngga pas. Karena lirik yang ngga cocok sama aransemennya. Sekali lagi, dengan alasan dan kriteria yang jelas. Itu soal penilaian kualitas. Bukan soal selera.

Dan menilai secara objektif sebuah karya berbeda dengan menilai selera orang lain. Itu pandangan subjektif. Menilai selera si A jelek, selera si D rendah. Ngga ada selera yang jelek, yang ada itu perbedaan selera. Ya, kayak perbedaan pandangan pada umumnya. Iya nggak, sih? Kalau menurut saya sih iya.


Biar dunia semakin berwarna…

Pengecapan dan pencitraan jelek ini ngga cuma dilakukan orang banyak terhadap The Upstairs sih, masih banyak yang lain. Contoh yang lain? Musik dangdut. Musik ini dari jaman saya SD (bahkan sebelumnya) udah dicap untuk kalangan rendah, sampe banyak teman saya yang jadi antidangdut karena pengecapan ini, dan punya kesamaan dalam mengisi biodata atau ‘lembar persahabatan dan kesan-pesan’ yang sering beredar di jaman SD dulu. Ada kolom seperti ini:

Musik favorit: Semua kecuali dangdut.
Atau

Musik yang disukai: Spice Girls (jaman saya SD banget)
Musik yang tidak disukai: Dangdut (kadang dibubuhi tambahan ‘dan keroncong’)

Tragis? Ngga juga sih, lucu aja. Soalnya jaman SD dulu itu saya hampir ngga pernah denger musik dangdut. Kata teman-teman, musik dangdut itu norak. Tapi waktu saya tanya teman-teman pengisi biodata ini, keadaan mereka juga mirip-mirip dengan saya, ngga pernah dengar lagu dangdut. Mungkin ada yang pernah dengar dangdut, tapi baru satu-dua lagu. Alasan mereka menulis dangdut di kolom ‘yang tidak disukai’? Karena dangdut itu musik kesukaan asisten rumah tangga mereka. Hahaha… Jaman SD yang polos dan menyenangkan.

Memang sih, menghakimi selera orang itu yang paling enak. Secara ngga sadar, saya juga masih suka melakukannya. Seperti kalo nonton acara mode di saluran E!, kadang saya suka berkomentar, “Ih, kok baju kayak gitu dipake sih.” Padahal atasan sama bawahan cocok-cocok aja, saya cuma ngga suka sama gaya berpakaiannya. Dan setelah itu saya pun memarahi diri sendiri. Wong orang itu suka kok make baju kayak gitu. Biarin aja lah. Biar dunia semakin berwarna.


Malam itu banyak sekali Modern Darling (sebutan untuk komunitas penggemar The Upstairs—yang 'berdansa resah' mengikuti musik dan seringkali berpakaian seperti idolanya) yang datang ke acara tersebut. Jangan tanya tentang pakaian yang mereka pakai. Direncanakan matang-matang dari atas sampai bawah. Saya bahagia.

Ya, saya penggemar The Upstairs.


Saya menikmati music new wave mereka. Saya ikut bernanyi bersama Jimi, memejamkan mata menikmati gebukan drum Beni. Mencoba mendalami makna lirik yang mereka tulis. Bergoyang mendengar hentakan disko yang mereka alunkan.

Dan saya bangga dengan musik pilihan saya.