November 28, 2007

Sang Penyendiri

Dilihat dari beberapa sisi, saya adalah seorang individualis.

Saya menikmati berjalan sendiri di tengah pusat perbelanjaan.
Tak segan mengarungi jam-jam panjang di perjalanan tanpa teman.
Saat makan pun, tak janggal ketika harus menikmati seorang diri.

Inilah kebebasan saya.
Rasanya nyaman bisa mengerjakan apapun yang saya suka.
Selama apapun.
Tak ada yang mengusik atau berseru minta ditunggu.
Berjam-jam diam tak mengapa,
memabukkan diri dalam kubang khayalan dihalalkan.

Tapi ini juga kegelisahan saya.
Pernah terlintas, takkan ada yang kehilangan jika saya terlepas.
Siapa yang tahu, kalau tak satupun rindu saat semua bersatu dan saya tak disitu?

Berburuk sangka bukan maksud saya.
Semata ingin merenung.
Saya sayang teman-teman, kanopi tempat berteduh dan mangkuk penampung lirih ketika murung.
Bahkan kantung tidur nyaman pelindung dari angin saat udara terlampau dingin.
Walau kadang tampak tak apa jika saya tak ada.

Teringat kembali ucapan ayah seorang teman:
"Meski terlihat berjuang bersama dan akan selalu ada yang bersama kita, sebenarnya kita hidup sendiri di dunia ini."

November 19, 2007

Ketika Kekuatan Prinsip Hidup Diuji

Salah satu masalah yang hangat dibicarakan di antara saya dan teman-teman perempuan saya akhir-akhir ini adalah soal hubungan (pacaran) dengan lelaki yang berbeda agama. Pasalnya, dua orang di antara kami (termasuk saya) sedang mengalami dilema dalam mengambil sikap menghadapi hal ini.

Saya belum pernah berada di situasi ini sebelumnya. Dari dulu saya belum pernah tertarik pada laki-laki yang memiliki kepercayaan berbeda, dan selalu berusaha untuk tidak tertarik. Namun satu orang ini benar-benar menarik perhatian saya, dan hampir membuat saya benar-benar menyukainya.

Yang terjadi kemudian, hati saya mulai ragu. Dan otak saya mulai mencari pembenaran.
"Saya menolak berpacaran dengan seseorang yang berbeda keyakinan karena saya ingin menikah dengan seseorang yang seiman." Kenapa harus menolak sementara sekarang saya belum ingin menikah?
"Saya hanya ingin membina hubungan dengan lelaki seiman karena saya tidak mau membina hubungan yang pasti harus berakhir." Mengapa harus menolak, padahal pasti banyak manfaat yang bisa saya peroleh dari hubungan tersebut?

Lalu mulailah suasana hati saya menjadi galau. Mulai bimbang sampai akhirnya saya menghubungi seorang sahabat lewat sms dan meminta pendapatnya. Teman saya ini lalu mengatakan,
"Emang situasi yang sulit dihadapi, tapi ada satu yang harus lo pegang, yaitu prinsip. Lo lagi dites, seberapa kuat lo pegang prinsip lo."
Saya setuju, ini memang masalah kekuatan hati dan keteguhan pada prinsip.

Tapi saya selalu percaya, menyukai siapapun tidak salah. Siapa yang bisa memilih orang yang disayangi, sementara hati bekerja independen bersama nurani? Siapa yang bisa menolak perasaan yang muncul, sementara tak ada kuasa pada diri untuk menghentikan keinginan diri?

Yang membuatnya seakan salah adalah keadaan dan budaya, dimana semua orang berlomba menghakimi dan mengotak-kotakkan manusia.

Saya tidak menganggap diri saya religius, namun lebih pada humanis.
Tetapi saya memandang agama sebagai sesuatu yang penting untuk dipegang dalam hidup.

Saya tidak merasa bersalah. Tapi juga tidak merasa benar.

Penolakan saya diuji, ketika saya sudah berada di dalam keadaan yang saya tentang itu.
Ternyata menjadi orang yang prinsipil tidak semudah yang saya kira.
"Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace"

John Lennon - Imagine