September 3, 2009

Menuliskan Apa yang Terlintas di Pikiran

Restoran sunyi. Tak ada suara terdengar kecuali dari jangkrik yang bernyanyi dan hewan malam yang bercakap-cakap dengan bahasa tubuh dan sinar mata yang memantulkan cahaya bulan. Tak ada suara manusia, bahkan dari dua orang yang duduk bersama di sana.


Maya dan Praha menempati meja pojok. Sudah dua puluh menit berlalu sejak mereka duduk dalam diam. Kesunyian sungguh mengusik. Kecanggungan meningkahi, membuat keduanya tak sanggup menyatakan apapun yang terlintas di pikiran. Bahkan untuk bernapas pun mereka ragu, sehingga tiap tarikan napas diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan suara.


Maya bergidik. Udara telah terlalu dingin. Praha menatap lembut wanita di depannya. Menuntaskan kesunyian.


"Mau pulang?"


Maya diam.


Aku tidak mau pulang. Karena pulang berarti berpisah dengan kamu. Karena aku tidak tahu kapan bisa bertemu kamu lagi seperti saat ini. Saat aku bisa dekat dengan kamu. Meskipun diam. Meskipun aku dan kamu sama-sama tak tahu apa-apa.


Maya diam. Lalu meraih dompet untuk membayar makanannya.