June 18, 2007

Caraku, Caramu

Beberapa minggu lalu, waktu lagi makan siang di rumah (sambil nonton Bondan Winarno dan Gwen di tv, hehe) saya keinget sama kebiasaan makan teman saya yang unik. Dan setelah mengingat-ingat dan ngobrol-ngobrol, saya berhasil mengumpulkan beberapa kebiasaan makan beberapa orang yang unik. Beberapa contoh ini mungkin menurut anda ngga aneh, karena anda juga melakukannya. ;)

1. Mayones dan Meses
Saya suka banget kombinasi makan roti isi campuran mayones dan meses. Ibu saya bilang kebiasaan ini 'menyeramkan' tapi menurut saya enak banget lho. Lebih enak lagi kalo mayonesnya dingin. Hmmm.

2. Nugget dan Kecap
Nah, kalo ini kebiasaan temennya teman-saya. Dia suka makan nugget ayam yang dibekuin itu pake kecap manis. Hahaha. Walaupun menurut standar saya kebiasaan ini ngga terlalu aneh (karena saya makan kornet pake kecap juga dan mungkin kalau diganti nugget jadi enak), teman saya menganggapnya amat sangat aneh.

3. Coca Cola dan ... Apa aja
Ini kebiasaan paling mengerikan yang saya pernah tau. Ceritanya teman ibu saya ini ngga bisa makan tanpa kuah, makan apapun harus ada kuahnya. Dan kalau suatu saat dia harus makan tapi ngga nemuin sup atau makanan berkuah lainnya, dia akan membasahi makanannya dengan Coca Cola. Kebayang ngga sih gimana marahnya koki-koki Italia kalo tau ada orang makan lasagna dengan kuah Coca Cola??

4. Mie Instan dan Susu Kental Manis
Ini kebiasaan makan salah satu sahabat saya. Dia suka mencampurkan susu kental manis ke kuah mie instan (dan katanya paling enak kalo campurannya mie rasa kari ayam), katanya rasanya jadi kayak spaghetti. Duh, saya ngga ikutan deh.

5. Nasi Goreng dan Meses
"Enak! Manis-manis asin!"
Adik saya. Ngga bisa komentar lagi deh. So out of this world.

Apakah anda pernah menemukan menu-menu makanan baru hasil kombinasi yang unik seperti di atas? Bagi-bagi cerita dong. :D

June 6, 2007

Keindahan Berbahasa

Kemarin malam saya pergi ke Ciwalk, nonton Pirates of the Caribbean: At World's End bareng teman-teman ITB.

Filmnya keren, saya terhibur banget! Walaupun belum nonton Pirates yang kedua, saya ngerasa asik-asik aja... Bisa dikira-kira sih maksud ceritanya, hehe. Tapi tulisan saya kali ini bukan buat membahas film ini, karena pendapat saya tentang film ini udah saya tulis di sini.

Setelah nonton, kami ngga langsung pulang. Kenapa ngga? Karena beberapa orang di antara kami mau dapet donat J.Co gratis, yang kata teman saya Tomo bakal dibagiin di depan tokonya mulai jam 10 malem. :)

Teman-teman nonton bareng ini saya kenal dari keikutsertaan saya di sebuah acara bernama AUDC (Asian University Debating Championship) yang beberapa waktu lalu diadakan di ITB; dimana saya menjadi LO (Liaison Officer), atau penghubung antara peserta dengan panitia inti. Sebelum bisa menjadi LO AUDC kami diwawancara dulu oleh Tomo, untuk melihat kemampuan kami dalam berbicara dalam bahasa Inggris, karena peserta acara yang akan kami dampingi nanti berasal dari berbagai negara di Asia dan satu-satunya bahasa yang akan dimengerti oleh semua adalah bahasa Inggris, apalagi karena lomba debatnya juga dalam bahasa Inggris. Jadi, bisa dibilang orang-orang yang diterima menjadi LO ini adalah orang-orang yang bisa berbahasa Inggris cukup baik secara verbal.

Salah satu teman saya lalu bercerita, suatu hari dia makan bersama tiga orang LO lainnya di sebuah restoran. Kebiasaan yang kadang kami lakukan tanpa sadar ketika sedang berkumpul bersama adalah bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, dan saat makan di restoran itu mereka berempat pun mulai ngobrol menggunakan bahasa Inggris.

Setelah beberapa lama, orang-orang sekitar mereka pun mulai memperhatikan. Bukan karena mereka bikin rusuh atau berencana kabur tanpa bayar, tapi karena bahasa yang mereka pergunakan. Orang-orang yang memperhatikan itu lalu mulai menatap sinis, seakan-akan mereka bergosip tentang tamu-tamu restoran yang lain.

Ketika dua-si A dan si B-dari empat teman saya ini pulang, mereka membahas kesinisan orang-orang di restoran itu. Kira-kira begini percakapannya:

A : "Eh, lo liat ngga tadi orang ngeliatin kita sinis gitu? Kayaknya mereka ngomongin kita juga karena make bahasa Inggris ya?"
B : "Haha... Iya, gw malah denger omongan salah satu dari mereka."
A : "Oya? Denger apa?"
B : "Katanya...
'Dikasih sagu, minta kentang. Belagu, mentang-mentang'."

Waktu dengar karmina (pantun dua baris) itu, saya spontan ketawa. Lucu, kan??? Bisa-bisanya ngarang ungkapan kayak gitu.

Tapi setelah melihat ungkapan itu dari segi logika (bukan segi humor), saya pikir, kok orang-orang itu sinis banget ya.
Apa salah, bicara dengan bahasa selain bahasa nasional kita?
Kenapa harus begitu sinis jika tidak mengerti, sedangkan teman-teman saya juga tidak berbicara pada mereka?
Atau mereka merasa terintimidasi karena tidak mengerti arti percakapan teman-teman saya, dan merasa tersindir?
Kenapa harus disebut belagu, kalau maksud mereka sama sekali bukan untuk pamer kemampuan?

Kalau dilihat dari kacamata orang-orang itu, saya mengerti kenapa mereka menyebut teman-teman saya belagu; karena berbahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari masih dipandang tidak biasa oleh sebagian masyarakat.
Padahal, apa bedanya dengan kelompok orang yang berbahasa Sunda di tengah orang-orang Jakarta yang tinggal di Bandung?
Sama-sama bahasa yang tidak universal, bukan?
Kenapa orang-orang Sunda itu tidak dipandang belagu, karena bahasa mereka tidak dapat dicerna orang Jakarta?

Padahal-menurut saya-berbahasa Inggris dengan baik (tanpa dicampur aduk dengan bahasa Indonesia) bisa sangat bermanfaat buat kita. Kemampuan bahasa Inggris, saya yakin anda semua tahu, dibutuhkan di masa depan; dimana kita akan banyak berinteraksi dengan manusia dari seluruh dunia dalam masa perdagangan bebas.

Tentu saja bahasa negeri sendiri harus kita hargai, sebagai warga Indonesia yang harus bangga dan melestarikan bahasanya. Maka saya beranggapan, bahwa kebiasaan berbahasa dengan baik harus kita miliki dan tularkan pada sebanyak mungkin anggota masyarakat.

Yang saya maksud dengan berbahasa secara baik adalah dengan berusaha menggunakan satu saja bahasa dalam kalimat-kalimat yang kita gunakan, tidak mencampur-campurnya dan seenaknya membuat kata serapan baru dari bahasa asing.

Sudah terlalu sering, saya rasa, kita mendengar (atau malah berbicara) kalimat-kalimat seperti,
"Management-nya ngga bagus."
"Tune-in terus di radio ini!"
"Kafe ini nge-groove banget."

Oke, mungkin maksud orang-orang yang berbicara dua bahasa sekaligus ini baik, untuk membiasakan diri berbahasa Inggris. Tapi di mana letak penghargaan kita untuk kedua bahasa tersebut? Tidak adakah sedikit pun penghargaan terhadap guru atau tokoh pelestari bahasa, yang saya yakin gatal ingin mengoreksi dan menawarkan diksi dalam Bahasa Indonesia untuk mengubah tata bahasa semrawut orang-orang ini?

Contoh langsungnya, tiga kalimat berantakan tadi bisa langsung diberikan pilihan koreksinya:
"Manajemennya ngga bagus.", atau "Pengaturannya ngga bagus."
"Dengerin terus siaran kami!"
"Suasana kafe ini asik banget."

Tidak ada kata-kata yang terlalu 'berat' yang bisa menimbulkan kesan 'sok serius', tidak juga kata-kata yang melenceng dari makna yang dimaksud.

Saya harap makna dan harapan saya dapat anda tangkap. Maksud saya sama sekali bukan untuk menjelek-jelekkan anda yang punya kebiasaan berbahasa seperti yang saya sebut di atas, tapi hanya untuk menyadarkan anda bahwa penghargaan terhadap bahasa kita (dan juga bahasa asing) dapat kita nyatakan dengan menggunakannya secara benar.

Pasti sekali-dua kali kita pernah secara sadar atau tidak sadar berbahasa seperti ini, diri saya pun tidak terkecuali. Namun jika kita menghargai bahasa, sadarlah tiap kali mencetuskan kalimat, dan mulailah menggunakan satu bahasa saja dalam tiap kalimat. Percayalah, banyak orang yang menganggap kebiasaan dua-bahasa-dalam-satu-kalimat ini tidak indah.

Tidak menyakitkan, kok, mencoba berbahasa dengan baik dan benar. Yang dibutuhkan dari generasi muda saat ini adalah nasionalisme dan kemampuan untuk maju ke era globalisasi; membiasakan berbahasa Indonesia dengan baik bisa menjadi langkah awal menuju yang pertama, dan berbahasa Inggris dapat melancarkan jalan yang kedua.

Mari kita mulai dari diri sendiri, dan kemudian menularkannya pada orang lain.
Berpandangan global, berpikir rasional, bertindak lokal.
Jangan lagi terdengar karmina yang sinis ini:

Dikasih sagu, minta kentang.
Belagu, mentang-mentang.

May 25, 2007

Untuk Kamu

Jiwaku berteriak
Namun berderik tak menghimpun

Mata mencoba menumpahkan
Jadi sungai yang mengalir kerontang

Aku tak apa
Tetapi nuraniku memprotes
Sungguh, aku bahagia
Sesak pun menyeluruh

Ragaku mencarimu
Hatiku memanggilmu
Aku membutuhkanmu

21.05.07
00.19

May 15, 2007

The Spectacles Phenomenon

One afternoon I received a message from my ex. It was a message replying the one I sent him the night before, asking how he was doing and how a lot of things had reminded me of him through the day before. He said he was ok, had met his junior high friend (a girl) who’d come to his campus, just to say hi, and had asked him to give her a campus tour.

The truth is, this girl is the one whom Adi (my ex) had had a crush on when they were in junior high. I found it cute eventually, how he met his crush again, and remembered how funny it was to be having a crush.

Junior high. Found a number of boys who attracted me in a way, but only one certified as my 'junior high sweetheart'. It was all silly and ridiculous, the 'puppy love', but I had fun gossiping about him with my close girlfriends. ;)

Senior high. A public one. Everything was new and fresh, I made friends with a large number of new people, had an unforgettable year in the Student Body, and found a cute, and I mean really cute, senior.

I don’t remember the precise time when I started having a crush on him, but it was certainly during my first year of high school. He was two years above mine, a cute type [based on their face character, I divide guys into three types; ‘cute’, ‘handsome’, and ‘attractive’ (or lucu, ganteng, and cakep)], and nice, though he wasn’t the greatly-welcoming type towards new people.

At the same year, I met a guy who eventually became my first boyfriend. A funny (‘unconventional’ sense of humor or garing, some said, but I found it attractive x) ), clever, diligent, ‘masa depan cerah’ type, teachers’ golden (in a good way), family-oriented, warm-hearted, handsome-type, loving boy.

So after some considerations, these three guys are my lifetime crushes, until now. And one day, I became aware that every one of them shares one physical resemblance.

They all wear spectacles.










My friends said they all have similar faces, hahaha... I don’t agree, though, they don’t look alike, all of them just happen to wear glasses. It felt funny, like my soul have a desire for this kind of guy without my brain confirming it. My ‘type’ is so obvious that a random someone could actually guess which one is the one when a pack of boys are standing nearby. My friend Alien once said, “Nie… You’re sooo obvious!”, and I laughed at this obviousness.

So I am me, a boys-with-glasses adorer. Dunno why, maybe they look slightly smarter? (I happen to like smart boys as well; but, who doesn’t?) Or they look more mature?
Who will be the next guy…? Hahaha… Will he happen to be wearing glasses as well? We’ll see. x) So if you wanna be the next one, maybe you should consider wearing glasses. Hahaha. Kidding. :)

April 24, 2007

My Marriage Plan

No, I’m not actually getting married. I just had an interesting dream about it a few days ago. Quite frightening, I admit, but I found it rather appealing.

In the dream I was at my present age, 19 years old. I was still studying, and I had a boyfriend (I can’t remember who it was). Somehow, in the dream, me and my boyfriend had decided to get married, yes, at the age of 19 and still a student. But at the end of the dream, I panicked, suddenly became aware that I was so far from ready to be a wife, and the whole plan of getting married so soon frightened me.

At a ready-to-be-proposed situation (the whole thing had been settled: from the date of ijab kabul to the souvenir for the party), I decided to cancel the marriage. My parents were both disappointed and relieved, and they supported me. But meanwhile, my boyfriend was very disappointed. Maybe he was so keen on having me as his wife =D, or maybe it was about dealing with a shocking change.

Funny, huh? It made me wondered:
1. Why did I have that dream?
2. What will a real marriage life be like?

For question number 1, I think I have a reasonable answer. Getting close to the age of 20, I think deep in my deepest soul, I’ve started thinking about finding the “one” who will accompany me ‘til the end of my life. The thought of the possibility of having a “wrong” person as a life partner can be quite terrifying. What if the man I once saw wonderful turn out to be a possessive, wife-controller psychopath? Or he is a horrifying masochist who enjoys threatening and abusing his partner for his own sexual pleasure?? Okay, I’m being paranoid. Well, my point is, what if my husband is not the person I’d thought he was? Maybe, my deepest soul is thinking about these things, thinking too hard about them? And even my sleep got disturbed by it.

On the other hand, I like wondering about how a marriage life will be like. The idea of being devoted to one man and having him as your soul mate can be both exciting and frightening. What if I (or we) become bored of each other? What if our dreams never come true? Sometimes I can be a pro-marriage person, seeing the whole situation as a wonderful thing. But at some other times I see marriage as an unnecessary thing, since we can just have boyfriends, not a husband. But honestly, I’m a lot more of a pro-marriage person.

Gee, hasn’t this post been a heavy, unimportant self-centered argumentation? I should stop thinking too much about this x). But hey, it’s just me, a romance and drama sucker who loves love stories, but only when they’re not cheesy.

And hey, it’s my blog, anyway. =)