February 14, 2010

Pertemuan

Malam sudah larut.
Sudah bukan jam bertamu, sudah tak patut.
Aku ragu di depan tertutupnya pintu.

Gaung suara bertalu-talu, jauh di ruang yang terasa begitu kosong.
Entah darimana, bahkan aku tak mengenalinya.
"Dia tak akan menolak hadirmu."

Maka pintu itu kuketuk, lalu aku masuk.

Senyap.
Dan burung hantu pun menguhu, seakan dia tahu.
Tahu keresahan ini menggila di dalam hati.

Seribu kata agung.
Puji kuucapkan lewat lidah yang terlanjur kelu, sungguh aku tak mampu.
Mata kami beradu.
Tapi aku melihat senyuman hangat.
Begitu hangat, seakan kami begitu dekat.

Seakan diriku bisa merasakan bumi berputar.
Keringat dingin mungkin muncul.
Diriku pun tak merasa.
Ragu dan gagu.
Hati tersayat sembilu.

Lalu kami bicara.
Entah siapa yang memulai, alam sadar lupa menerima impulsnya.
Nyaman, seperti sepasang kawan lama.

Tiba-tiba aku terisak.
Dan Dia mengelusku di kepala.
Kemudian aku tergelak.
Dia menemaniku tertawa.

"Aku rindu." Akhirnya.
Tapi suaraku tercekat. Malu?

"Tapi aku selalu disini. Tak pernah pergi."

"Aku tahu.
Entah.
...
Mungkin aku yang tak tahu diri."

"Tak apa. Aku disini."

Lalu Dia merengkuhku.
Dan aku pun diam di pelukan-Nya.
Hangat.

Aku terbangun tanpa diri-Nya.
Tapi nyaman itu masih disana.

Aku menengok ke pintu itu.
Di atas secarik kertas dua baris tulisan terbaca.
Sederhana saja, tanpa puitisasi apa-apa.
Bunyinya,
"Aku selalu disini.
Kapan pun kau butuh Aku."

Hangat itu merasuk ke dalam hati.
Bersemayam disana.
Kuharap selamanya.

September 3, 2009

Menuliskan Apa yang Terlintas di Pikiran

Restoran sunyi. Tak ada suara terdengar kecuali dari jangkrik yang bernyanyi dan hewan malam yang bercakap-cakap dengan bahasa tubuh dan sinar mata yang memantulkan cahaya bulan. Tak ada suara manusia, bahkan dari dua orang yang duduk bersama di sana.


Maya dan Praha menempati meja pojok. Sudah dua puluh menit berlalu sejak mereka duduk dalam diam. Kesunyian sungguh mengusik. Kecanggungan meningkahi, membuat keduanya tak sanggup menyatakan apapun yang terlintas di pikiran. Bahkan untuk bernapas pun mereka ragu, sehingga tiap tarikan napas diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan suara.


Maya bergidik. Udara telah terlalu dingin. Praha menatap lembut wanita di depannya. Menuntaskan kesunyian.


"Mau pulang?"


Maya diam.


Aku tidak mau pulang. Karena pulang berarti berpisah dengan kamu. Karena aku tidak tahu kapan bisa bertemu kamu lagi seperti saat ini. Saat aku bisa dekat dengan kamu. Meskipun diam. Meskipun aku dan kamu sama-sama tak tahu apa-apa.


Maya diam. Lalu meraih dompet untuk membayar makanannya.

June 8, 2009

Mencari Setitik Embun - Bagian II

Orang bertanya sana-sini,
"Bagaimana?"
Ingin sekali ia menjawab pasti,
"Semua baik-baik saja."
Ditambah seulas senyum andalan.

Dimana kalian,
Wahai pemicu-pemicu gairah?
Para pengubah nasib!
Disini ia butuh kalian.
Meski ia sendiri masih bertanya-tanya, siapa atau apa.
Wahai yang menghidupkan semua yang mati suri.
Malaikat pembawa lilin saat dingin.
Kemari, kemari.
Sebelum ia mati karena dirinya sendiri.

Mencari Setitik Embun - Bagian I

Alunan musik dan lirik
Senin sampai Jumat
Tak ada bisik-bisik
Semua sudah dikenal dekat sampai penat

Pensil dan kertas, kesayangannya
Huruf, angka, huruf saja
Tak bergambar, seperti biasa
Apa pesonanya perlahan meniada?

Udara sejuk membuat gerah
Bahkan yang seperti rumah membikin jengah

March 29, 2009

Tentang Air Mata

Sesak
Terlalu penuh di dalam sini
Ruang hati tak sanggup lagi memberi
Tumpangan
Pertahanan
Kekuatan menyembuhkan

Sebenarnya sungguh ia tak diinginkan

Namun ia sudah jatuh
Terus tak terkendali
Berjalan turun perlahan
Seakan ragu untuk menyusuri jalan
Memahami hati yang masih tak ingin
Meski akhirnya memilih untuk membiarkannya dibelai angin

Kau ucapkan kata
Empat huruf saja

Namun adakah berarti lagi?

Karena ia sudah jatuh
Dan meninggalkan bekas di hati