Tapi aku kau rengkuh hingga mengaduh
Tubuhku hanya kau yang sentuh, aku setuju
Tapi suaraku, jiwaku, darahku, bukan milikmu
Dan jejak-jejak yang kau sembunyikan
Aku tak bisa ke belakang dengan tenang
Tak ada lagi aku sang abdi
(aku disini bukan aku)
tik
tik
titik-titik bening, kaca jadi basah dari kering
hening
dirimu menyublim
tik
tak
jangan lakukan itu
gelisah menghantui, itu aku sudah tahu
dan ketak sepatu tak mengindahkan tanyaku
tak juga satu
tik
tok
terus berputar, sayang
ia terus berputar
namun berbatas
tak akan menahan bahkan sebuah sentuhan
jika saatnya tiba
jika diri tak sanggup lagi mengerti
titik
kontemplasi adalah kemewahan
bagai milik burung bebas yang menyapa wajah dalam sangkar emas
namun jangan sekarang, sayang
kau kecap manis kemewahan itu
karena aku disini
karena aku disini
Mei 2010
Restoran sunyi. Tak ada suara terdengar kecuali dari jangkrik yang bernyanyi dan hewan malam yang bercakap-cakap dengan bahasa tubuh dan sinar mata yang memantulkan cahaya bulan. Tak ada suara manusia, bahkan dari dua orang yang duduk bersama di sana.
Maya dan Praha menempati meja pojok. Sudah dua puluh menit berlalu sejak mereka duduk dalam diam. Kesunyian sungguh mengusik. Kecanggungan meningkahi, membuat keduanya tak sanggup menyatakan apapun yang terlintas di pikiran. Bahkan untuk bernapas pun mereka ragu, sehingga tiap tarikan napas diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan suara.
Maya bergidik. Udara telah terlalu dingin. Praha menatap lembut wanita di depannya. Menuntaskan kesunyian.
"Mau pulang?"
Maya diam.
Aku tidak mau pulang. Karena pulang berarti berpisah dengan kamu. Karena aku tidak tahu kapan bisa bertemu kamu lagi seperti saat ini. Saat aku bisa dekat dengan kamu. Meskipun diam. Meskipun aku dan kamu sama-sama tak tahu apa-apa.
Maya diam. Lalu meraih dompet untuk membayar makanannya.