Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts

March 1, 2015

Di Sudut Gelap Taman Mandara

Saat nista taman itu
Kau mau dan kubilang tunggu
Tapi aku kau rengkuh hingga mengaduh

Kuserahkan rahim dan buah cinta
Hingga tiga desidus kau bungkam suaranya
Sejak itu ia kuberikan semua

Selalu kau yang benar, aku tahu
Tubuhku hanya kau yang sentuh, aku setuju
Tapi suaraku, jiwaku, darahku, bukan milikmu

Dalam cermin ada wanita Jeihan
Dan jejak-jejak yang kau sembunyikan
Aku tak bisa ke belakang dengan tenang

Kau dan ia di taman itu lagi
Kuketahui dan kuakhiri
Tak ada lagi aku sang abdi

May 24, 2010

Waktu

Kini malam menyapa,
tak lama pagi sudah hadir kembali
Dan kau tak perlu membalikkan jam pasir
Untuk memastikan sang waktu bergulir

May 20, 2010

kontemplasi

(aku disini bukan aku)


tik

tik

titik-titik bening, kaca jadi basah dari kering

hening

dirimu menyublim


tik

tak

jangan lakukan itu

gelisah menghantui, itu aku sudah tahu

dan ketak sepatu tak mengindahkan tanyaku

tak juga satu


tik

tok

terus berputar, sayang

ia terus berputar

namun berbatas

tak akan menahan bahkan sebuah sentuhan

jika saatnya tiba

jika diri tak sanggup lagi mengerti


titik

kontemplasi adalah kemewahan

bagai milik burung bebas yang menyapa wajah dalam sangkar emas


namun jangan sekarang, sayang

kau kecap manis kemewahan itu

karena aku disini

karena aku disini



Mei 2010


February 14, 2010

Pertemuan

Malam sudah larut.
Sudah bukan jam bertamu, sudah tak patut.
Aku ragu di depan tertutupnya pintu.

Gaung suara bertalu-talu, jauh di ruang yang terasa begitu kosong.
Entah darimana, bahkan aku tak mengenalinya.
"Dia tak akan menolak hadirmu."

Maka pintu itu kuketuk, lalu aku masuk.

Senyap.
Dan burung hantu pun menguhu, seakan dia tahu.
Tahu keresahan ini menggila di dalam hati.

Seribu kata agung.
Puji kuucapkan lewat lidah yang terlanjur kelu, sungguh aku tak mampu.
Mata kami beradu.
Tapi aku melihat senyuman hangat.
Begitu hangat, seakan kami begitu dekat.

Seakan diriku bisa merasakan bumi berputar.
Keringat dingin mungkin muncul.
Diriku pun tak merasa.
Ragu dan gagu.
Hati tersayat sembilu.

Lalu kami bicara.
Entah siapa yang memulai, alam sadar lupa menerima impulsnya.
Nyaman, seperti sepasang kawan lama.

Tiba-tiba aku terisak.
Dan Dia mengelusku di kepala.
Kemudian aku tergelak.
Dia menemaniku tertawa.

"Aku rindu." Akhirnya.
Tapi suaraku tercekat. Malu?

"Tapi aku selalu disini. Tak pernah pergi."

"Aku tahu.
Entah.
...
Mungkin aku yang tak tahu diri."

"Tak apa. Aku disini."

Lalu Dia merengkuhku.
Dan aku pun diam di pelukan-Nya.
Hangat.

Aku terbangun tanpa diri-Nya.
Tapi nyaman itu masih disana.

Aku menengok ke pintu itu.
Di atas secarik kertas dua baris tulisan terbaca.
Sederhana saja, tanpa puitisasi apa-apa.
Bunyinya,
"Aku selalu disini.
Kapan pun kau butuh Aku."

Hangat itu merasuk ke dalam hati.
Bersemayam disana.
Kuharap selamanya.

September 3, 2009

Menuliskan Apa yang Terlintas di Pikiran

Restoran sunyi. Tak ada suara terdengar kecuali dari jangkrik yang bernyanyi dan hewan malam yang bercakap-cakap dengan bahasa tubuh dan sinar mata yang memantulkan cahaya bulan. Tak ada suara manusia, bahkan dari dua orang yang duduk bersama di sana.


Maya dan Praha menempati meja pojok. Sudah dua puluh menit berlalu sejak mereka duduk dalam diam. Kesunyian sungguh mengusik. Kecanggungan meningkahi, membuat keduanya tak sanggup menyatakan apapun yang terlintas di pikiran. Bahkan untuk bernapas pun mereka ragu, sehingga tiap tarikan napas diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan suara.


Maya bergidik. Udara telah terlalu dingin. Praha menatap lembut wanita di depannya. Menuntaskan kesunyian.


"Mau pulang?"


Maya diam.


Aku tidak mau pulang. Karena pulang berarti berpisah dengan kamu. Karena aku tidak tahu kapan bisa bertemu kamu lagi seperti saat ini. Saat aku bisa dekat dengan kamu. Meskipun diam. Meskipun aku dan kamu sama-sama tak tahu apa-apa.


Maya diam. Lalu meraih dompet untuk membayar makanannya.