Aku ingin bertanya dalam bunyi yang sama
Dengan nada yang akrab di telinganya
Lewat kata yang tiap hari dibaca
Berapa orang dijamu hari ini
Siapa nama anaknya, umur berapa
Atau melempar kelakar yang asing untuk seleranya
Kulitnya sawo matang seperti aku
Hidungnya datar serupa milikku
Mungkin buyutnya adalah buyutku
Tapi lidahnya tebal sementara punyaku tipis
Logatnya dalam sementara milikku begitu dangkal
Tembang ibunya indah, bagi separuh diriku yang tak pernah lahir
"Matur nuwun."
Cuma itu saja
Sembarang kukatakan dikira orang gila!
Saatnya mengumpulkan tugas setelah lama mengerjakan hal-hal lain. Pak Candra, ini jawaban saya:
10 Hal tentang Seorang Audrey Cornu
1. Waktu kecil, saya sangat cengeng. Ibu saya masih menyimpan "Buku Penghubung" milik saya sewaktu TK, sebuah buku yang dimiliki tiap anak dan berfungsi sebagai media komunikasi guru dengan orangtua murid. Disitu saya pernah membaca surat dari ibu saya untuk ibu guru di sekolah yang bunyinya kira-kira seperti ini:
"Ibu Guru Yth.,
pagi ini Audrey tidak mau sekolah. 'Libur,' katanya [padahal tidak libur-penulis]. Setelah saya ajak bicara, Audrey bercerita bahwa di sekolah ada seorang anak SD yang suka mengganggunya. Katanya namanya R****n [disembunyikan demi nama baik yang bersangkutan-penulis]. Saya coba jelaskan bahwa mungkin anak itu hanya ingin mengajak bermain, .... Mohon bantuan Ibu. Terima kasih."
Payah.
Tapi jawabannya lebih parah lagi:
"Ibu Yth.,
terima kasih atas pemberitahuan ibu. Perlu kami informasikan pula bahwa di kelas, Audrey sangat mudah menangis. Diajak bercanda pun kadang suka menangis. …"
Duh. Ketika sekarang sudah besar, tentu saya sudah tidak secengeng itu lagi. Tapi tampaknya kecengengannya masih tersisa. Saya termasuk orang yang mudah menangis di bioskop (tentu dengan melihat teman menonton terlebih dahulu) dan bisa tiba-tiba meneteskan air mata saat mendengar lagu yang liriknya bermakna mendalam (“One Sweet Day”, “What’s Going On?”). Tapi saya tidak malu atau minder kok. Saya senang menjadi orang yang sensitif. ;)
2. Saya sering berkhayal Khayalan itu bisa muncul di otak saya kapan saja.
Di dalam bis kota, saat akan tidur, saat mendengarkan lagu (khayalannya akan berhubungan dengan lirik lagu), kapan pun. Khayalannya bisa bertema apa saja, tapi yang jelas yang indah-indah.
Jadi, kalau suatu saat Anda sedang bersama saya dan melihat saya diam sesaat dengan ekspresi sedikit berubah, mungkin saya sedang berkhayal. Tidak usah bertanya apa yang sedang saya khayalkan, karena kemungkinan terbesar adalah saya tidak akan menceritakannya.
3. Saya orang yang sulit dan lama memutuskan saat berbelanja Saya jarang berbelanja, walau sebenarnya ingin sering. Bukan karena tidak suka belanja, tapi karena saya sering hanya berjalan-jalan (dalam waktu yang lama) dan melihat-lihat barang tanpa membeli.
Dan kalau sedang beruntung mendapatkan lebih dari satu barang yang menarik, saya akan menghabiskan waktu tambahan yang panjang untuk memutuskan barang yang mana yang akan saya beli.
Plin-plan? Tidak bisa memutuskan? Saya lebih suka menyebutnya penuh pertimbangan.
4. Saya senang menyendiri Dibandingkan teman-teman perempuan yang lain, mungkin saya orang yang sering pergi kemana-mana sendirian. Seperti yang sudah saya tulis di blog ini, saya menikmati saat-saat melakukan apapun sendirian. Saya sering mendengar ucapan heran teman-teman seperti “Hah? Sendirian?”, “Sendirian aja” setiap kali saya pamit hendak pergi ke suatu tempat sendirian. Tapi saya tidak antisosial. Saya senang juga kok bepergian bersama teman-teman.
Menurut pengalaman saya, saat menyendiri bisa menjadi momen datangnya inspirasi. Apalagi saat bepergian ke tempat-tempat umum seperti stasiun kereta dan mal. Banyak hal kecil yang jarang kita sadari di keseharian, padahal hal kecil itu bisa menjadi pelajaran hidup yang berharga.
5. Saya pernah tidak menyukai nama panggilan saya. Sejak kecil saya dipanggil dengan sebuah nama yang pernah saya anggap tidak keren. Kesannya terlalu kuno. Saya pernah berpikir untuk mengganti nama panggilan, tapi seiring berjalannya waktu dan mungkin bertambahnya kedewasaan, saya memutuskan untuk tidak melakukannya. Saat ini saya menulis blog dan berbicara di dunia maya dengan nama samaran, tetapi bukan karena masih tidak suka pada nama asli saya. Hanya karena faktor kerahasiaan dan keinginan menyimpan identitas pribadi dari dunia maya. ;)
6. Saya cinta bahasa. Dari dulu saya senang belajar bahasa. Bahasa apa saja.
Dari kecil saya sudah mengenal dan menyenangi bahasa Inggris.
Sejak SD pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris sudah menjadi favorit saya.
Sejak SD saya mulai menulis buku harian.
Ketika SMP saya ingin kuliah Sastra Inggris, Sastra Indonesia, atau Jurnalistik.
Sejak SMP saya senang membaca karya-karya sastra dan mulai menulis puisi, cerita pendek, dan naskah drama.
Sejak SMA saya mulai menulis blog.
Saat ini, saya sedang belajar bahasa Perancis.
Yang masih ingin saya kembangkan adalah kemampuan berbahasa daerah. Saya ini keturunan Jawa, Sunda, dan Mandailing, tapi tidak bisa satupun dari tiga bahasa daerah asal keturunan tersebut. Yang sedikit bisa hanya bahasa Sunda. Saya ingin lebih menguasai lagi.
Ada sesuatu dalam dunia bahasa dan sastra yang membuat saya jatuh cinta. Entah apa. Mungkin unsur puitis di dalamnya yang menyentuh saya, si orang sensitif. ;) Tidak terkecuali bahasa Indonesia, yang sering membuat saya terpukau. Saya sangat menghargai bahasa dan berusaha menggunakannya sebaik mungkin.
Itulah sebabnya saya paling benci membaca tulisan di media yang acak-acakan, yang mencampur adukkan dua/banyak bahasa. Tadi saya baru saja membaca kalimat yang bunyinya kira-kira ”They thought they were wrong, dan right, mereka emang salah.” Apa sih yang salah dengan “Mereka pikir mereka salah, dan memang benar, mereka salah.”?
Kalau menulis tentang ini bisa jadi panjang. Nanti sajalah.
7. Saya sangat tidak berbakat dalam olahraga. Saya tidak bisa bermain basket. Lari saya tidak cepat. Saya tidak bisa menservis bola voli. Saya tidak bisa berenang cepat. Kadang saya tidak bisa memukul kok dengan tepat.
Mungkin ada hubungannya dengan postur tubuh saya yang kurang mendukung, tetapi kadang saya merasa memang tidak diberikan kemampuan untuk berolahraga. Apalagi dulu saat pelajaran senam dan lompat tinggi di SD dan SMP. Aduh, sedihnya saat saya tidak bisa melakukan handstand atau melewati palang melintang.
Satu-satunya olahraga yang saya kuasai adalah bersepeda. Dan tenis, tetapi dalam permainan Nintendo Wii. Oya, saya punya stamina dan kemampuan cukup tinggi dalam melakukan dan sit-up dan push-up, yang menjadi kebanggaan saya saat ospek.
8. Minat saya sangat luas. Saat SD-SMP, saya pernah ingin menjadi penulis, dokter, pramugari, dan presiden.
Kelas 1 SMA, saya ingin menjadi dokter.
Kelas 2 SMA, masih ingin menjadi dokter.
Kelas 3 SMA, saya sempat ingin kuliah Sastra Inggris, Kedokteran, Teknik Industri, Hubungan Internasional, Ekonomi/Bisnis, Arsitektur, Desain Interior, dan (di akhir SMA, beberapa bulan sebelum lulus) akhirnya Teknik Lingkungan.
Waktu Open House Unit di kampus, saya mendaftar unit MBWG (marching band), PSM (paduan suara), Liga Film Mahasiswa (film, fotografi, EO), Stema (teater), U-Green (pecinta lingkungan), SEF (Student English Forum), Boulevard (majalah kampus), dan beberapa unit olahraga. Saya baru merasa bingung ketika harus mengeliminasi banyak unit di antaranya. x) Akhirnya, saya bertahan di Liga Film Mahasiswa sampai sekarang.
Minat yang luas berarti banyak pilihan. Tetapi kadang luasnya minat inimembuat saya bingung sendiri. Di masa SMA sulit sekali memutuskan untuk kuliah dimana, dan akhirnya saya baru memilih untuk masuk ITB di akhir masa sekolah. Dan jurusan saya ambil bukan jurusan yang saya pilih selama tiga tahun terakhir masa SMA (yaitu Kedokteran).
9. Saya cinta dunia teater. Dari SD sampai SMA saya aktif di kegiatan teater. Bagi saya, berteater adalah kenikmatan dan kepuasan batin. Akting di atas panggung sangat menyenangkan untuk saya. Naskah, mimik, gerak, properti, dialog, kostum, pencahayaan, volume suara tiga kali volume normal, adalah aspek-aspek yang tergabung dalam dunia teater dan semuanya saya cintai.
Sayangnya, di kampus saya saat ini kegiatan teater tidak terlalu hidup sehingga saya beralih ke film. Saya sudah ikut membuat satu film dan bermain dalam dua film, namun kenikmatan yang saya dapatkan berbeda dengan hidup dalam teater. Di film Anda akan memperoleh kenikmatan visual berkat teknologi seperti efek spesial, hasil penyuntingan yang indah, dan kebebasan memutar ulang adegan yang Anda suka. Di pertunjukan teater, Anda akan memperoleh spontanitas, improvisasi dahsyat, gerak yang maksimal, pencahayaan yang dramatis, dan kedekatan dengan dunia yang disuguhkan. Ternyata setelah mencoba keduanya, saya masih merindukan keindahan berteater.
Ah, satu lagi topik yang akan panjang jika saya jabarkan. Tunggu saja tulisan saya tentang topik ini.
10. Saya senang aktif berkegiatan. Saya mulai senang berkegiatan di sekolah dan kampus sejak SMP. Dulu saya ikut ekstrakurikuler Drama dan Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) untuk menjadi pengurus OSIS, walaupun akhirnya tidak berhasil.
Saat SMA saya baru berkesempatan menjadi Sekretaris II OSIS. Juga ikut ekstrakurikuler Kesenian (bidang teater tentunya). Di masa SMA inilah saya mulai aktif berkegiatan, walaupun jarak sekolah dan rumah agak kurang manusiawi (kalau tidak salah sekitar 10-12 kilometer).
Di kampus saya cukup aktif di unit (sebagai pengurus) dan himpunan, kadang-kadang juga kegiatan kemahasiswaan terpusat.
Dan karena tidak lagi tinggal bersama orangtua, kehidupan mulai teratur. Pulang malam, tidur malam, bergadang, kadang tidak makan malam, dan kadang menginap di kampus. Memang saya merasa capek di saat-saat tertentu dan banyak kepentingan pribadi saya yang menjadi terabaikan, tapi banyak juga kesenangan yang saya rasakan. Saya senang merasa berguna dan berkontribusi untuk sekitar. Semoga nanti setelah masa kuliah kebutuhan untuk aktif ini tidak hilang.
Itulah 10 hal yang cukup pribadi tentang saya.
Tugas diteruskan pada Nyt, Alien, Ramdaffe, Vita, dan Yuki. Tapi tugas ini hukumnya sunnah muakad kok, dilakukan bagus, tidak juga tidak apa-apa. :)
Baru-baru ini saya merasakan langsung yang namanya diskriminasi dan ‘pengecapan’ terhadap satu komunitas. Kalau biasanya saya hanya mendengar atau menyaksikan diskriminasi, kali ini saya mengalami sendiri ‘pengecapan’ itu.
Soul For Indonesian Earth
Ceritanya begini. Sabtu lalu, tanggal 7 bulan 7 tahun 2007, saya, kakak, dan beberapa teman datang ke acara Soul For Indonesian Earth (SoulFIE) yang diadakan di Senayan. Disana, ada sekitar 50-an grup musik dan penyanyi yang tampil untuk sekalian kampanye tentang pencegahan pemanasan global (Salut banget! Kampanye ini saya dukung banget!). Dari sekian banyak artis (Maliq, Glenn, The Adams, Project Pop, Naif, Gita Gutawa, Tompi, Marcell, Cokelat, Ras Muhammad, dan masih banyak lagi. Tiket cuma Rp25.000,00. Yang ngga dateng, rugi banget. :D), yang paling saya tunggu-tunggu adalah penampilan band yang terkenal akan kostum berwarna-warni mencrang (=terang) dan a la jaman dulu, The Upstairs.
Saya bilang pada teman-teman, saya datang untuk The Upstairs. Hadir untuk berdansa bersama mereka. Beberapa teman saya tertawa, mungkin mengira saya bercanda. Atau mungkin belum percaya. :) Satu teman lagi bahkan melongo tak percaya. Mempertanyakan keseriusan saya. Dan berkali-kali menanyakan ulang, “Lo serius suka The Upstairs?”
Awalnya saya ketawa aja. Menertawakan ketidakpercayaan mereka. Setelah saya ditanya hal yang sama beberapa kali, saya mulai kesal. Memang kenapa sih?
“Untuk dinikmati kaum rendahan”
Dari pertanyaan-pertanyaan dan mimik wajah teman yang saya lihat inilah saya semakin yakin, bahwa The Upstairs adalah salah satu band yang mendapat cap negatif dari masyarakat umum yang bukan penggemar mereka. Kesan yang saya dapat dari teman saya, The Upstairs itu band untuk kaum rendahan yang penggemarnya otomatis kaum rendahan juga. Komunitas penggemar The Upstairs itu vandalis. Suka mengacau. Dipermanenkan seperti itu.
Akibatnya, orang dari kalangan berbeda seakan ‘dilarang’ menyukai The Upstairs. Musik mereka ngga ‘berkelas’. Musik yang ditahan petugas ketika hendak melewati sensor pintu pergaulan kelas menengah. Sampai dibuat ruang khusus untuk mengisolasi pendengarnya yang bukan dari kelas sosial tertentu. Begitu parahnya diskriminasi sosial yang terjadi di masyarakat urban saat ini, sampai musik pun dibuatkan kelas berdasarkan pendengarnya.
Padahal, kan ngga semua penggemar The Upstairs kayak yang saya sebut di atas. Ngga semua vandalis. Bahkan, kebanyakan hanya ingin berdansa. Contohnya di acara kemaren (SoulFIE), Modern Darling yang datang ngga ada yang bikin rusuh kok... Sayangnya cap 'pengacau' itu udah dibubuhkan kepada para Mod oleh beberapa kalangan yang menilai berdasarkan satu kejadian aja...
Padahal (lagi), selera musik kan selera pribadi. Apresiasi terhadap musik ngga bisa dikekang. Pilihan orang terhadap musik yang didengarnya ngga boleh dibatasi. Mengutip pendapat teman saya tentang film yang awalnya tidak saya setujui: “Boleh aja lo menilai sebuah karya itu bagus/nggak. Karena ada kriterianya.” Misalnya, lagu “ABCDEFG” itu jelek, karena harmonisasi gitar dengan vokal yang ngga pas. Karena lirik yang ngga cocok sama aransemennya. Sekali lagi, dengan alasan dan kriteria yang jelas. Itu soal penilaian kualitas. Bukan soal selera.
Dan menilai secara objektif sebuah karya berbeda dengan menilai selera orang lain. Itu pandangan subjektif. Menilai selera si A jelek, selera si D rendah. Ngga ada selera yang jelek, yang ada itu perbedaan selera. Ya, kayak perbedaan pandangan pada umumnya. Iya nggak, sih? Kalau menurut saya sih iya.
Biar dunia semakin berwarna…
Pengecapan dan pencitraan jelek ini ngga cuma dilakukan orang banyak terhadap The Upstairs sih, masih banyak yang lain. Contoh yang lain? Musik dangdut. Musik ini dari jaman saya SD (bahkan sebelumnya) udah dicap untuk kalangan rendah, sampe banyak teman saya yang jadi antidangdut karena pengecapan ini, dan punya kesamaan dalam mengisi biodata atau ‘lembar persahabatan dan kesan-pesan’ yang sering beredar di jaman SD dulu. Ada kolom seperti ini:
Musik favorit: Semua kecuali dangdut.
Atau
Musik yang disukai: Spice Girls (jaman saya SD banget) Musik yang tidak disukai: Dangdut (kadang dibubuhi tambahan ‘dan keroncong’)
Tragis? Ngga juga sih, lucu aja. Soalnya jaman SD dulu itu saya hampir ngga pernah denger musik dangdut. Kata teman-teman, musik dangdut itu norak. Tapi waktu saya tanya teman-teman pengisi biodata ini, keadaan mereka juga mirip-mirip dengan saya, ngga pernah dengar lagu dangdut. Mungkin ada yang pernah dengar dangdut, tapi baru satu-dua lagu. Alasan mereka menulis dangdut di kolom ‘yang tidak disukai’? Karena dangdut itu musik kesukaan asisten rumah tangga mereka. Hahaha… Jaman SD yang polos dan menyenangkan.
Memang sih, menghakimi selera orang itu yang paling enak. Secara ngga sadar, saya juga masih suka melakukannya. Seperti kalo nonton acara mode di saluran E!, kadang saya suka berkomentar, “Ih, kok baju kayak gitu dipake sih.” Padahal atasan sama bawahan cocok-cocok aja, saya cuma ngga suka sama gaya berpakaiannya. Dan setelah itu saya pun memarahi diri sendiri. Wong orang itu suka kok make baju kayak gitu. Biarin aja lah. Biar dunia semakin berwarna.
Malam itu banyak sekali Modern Darling (sebutan untuk komunitas penggemar The Upstairs—yang 'berdansa resah' mengikuti musik dan seringkali berpakaian seperti idolanya) yang datang ke acara tersebut. Jangan tanya tentang pakaian yang mereka pakai. Direncanakan matang-matang dari atas sampai bawah. Saya bahagia.
Ya, saya penggemar The Upstairs.
Saya menikmati music new wave mereka. Saya ikut bernanyi bersama Jimi, memejamkan mata menikmati gebukan drum Beni. Mencoba mendalami makna lirik yang mereka tulis. Bergoyang mendengar hentakan disko yang mereka alunkan.