August 23, 2007

Perpisahan

Pagi ini saya mendapat kabar buruk dari ibu saya lewat telepon.
Cilik-anjing saya yang kecil-sakit di rumah.
Demam, menggigil, dan diam, padahal biasanya hiperaktif.
Saya khawatir sekali, takut sakitnya semakin parah.
Dan satu jam kemudian, ketakutan saya betul-betul terjadi.

Cilik meninggal siang ini, kira-kira pukul 11 siang...

Cilik, anjing saya yang baru berusia tujuh bulan.
Cilik, yang merupakan wujud dikabulkannya keinginan saya selama ini, yaitu ingin punya anjing kecil...
Cilik, anjing yang selalu membuat saya kangen ingin bertemu, dan ingin membawanya ke Bandung untuk tinggal bersama saya...
Cilik, anjing yang pintar namun belum terlatih...
Anjing yang hiperaktif karena belum dewasa...
Yang selalu berlari menghampiri saat saya datang...
Yang selalu memanggil bila ditinggal...
Yang menangis bila kesepian...
Anjing yang benar-benar saya sayangi.

Januari 2007 - 23 Agustus 2007

You'll always be in my heart, Cil...
Semoga sekarang kamu tenang dan bahagia..

Akan selalu sayang kamu.
Akan selalu kangen kamu.

In memoriam.

"--0107 ~ 230807"

July 28, 2007

Something Decent Called Originality

Baru-baru ini saya menemukan sebuah fenomena menakjubkan.
Fenomena ini sudah pernah beredar di dunia beberapa waktu lalu, jadi mungkin anda sudah pernah mendengar tentangnya. Atau justru menemukan sendiri fenomena ini dan terkejut sendiri. Saya sendiri terkesima. Terguncang.

Mari kita mulai.

Apa anda tahu grup musik The Donnas? Sejarah singkatnya, grup musik rock ini berasal dari Amerika Serikat dan mengeluarkan album pertamanya pada tahun 1997. Yang unik dari grup ini adalah anggotanya yang semua wanita (Brett Anderson, Torry Castellano, Maya Ford, dan Allison Robertson) dan nama panggilan yang diberikan untuk tiap personilnya (dan digunakan sampai tahun 2004) yaitu "Donna A", "Donna C", "Donna F", dan "Donna R", yang digunakan mengikuti nama keempat personilnya sendiri. Keempat wanita ini telah memproduksi enam buah album, dan album terakhir berjudul Gold Medal dirilis tahun 2004. Seperti inilah sampulnya.



Nah, sekarang mari lupakan The Donnas sejenak.

Anda pernah dengar grup vokal Dewi-dewi, bukan? Bagi yang belum, saya ceritakan sedikit. Grup ini bentukan dan asuhan Ahmad Dhani, personil grup band Dewa 19. Anggota-anggotanya diambil dari pemenang-pemenang kontes pencarian bakat yang diprakarsai oleh Dhani sendiri, dan muncul dengan lagu hit "Dokter Cinta". Kalau mau tahu wajahnya, mereka model iklan produk elektronik IOTO keluaran Sharp. Tahun ini (2007) mereka mengeluarkan album perdana yang diberi judul "Recycle+". Apa anda sudah beli? Atau paling tidak, melihat sampul albumnya? Kalau belum, ini dia:


Nah.

Apa anda melihat apa yang saya lihat?
Ya.
Kedua album ini bersampul mirip.
Bukan mirip lagi, tapi sama.

"Ngga ah... Ada bedanya kok.." Kata orang-orang yang menolak percaya.
Oke, memang ada perbedaan. Yang bikin mereka beda adalah jumlah personil, tingkat kecerahan warna, letak dan desain nama grup, dan logo SCTV yang mengganggu itu.

Selebihnya, persis. Konsepnya. Warnanya. Perhatikan gelembung2 warna jingga dan biru itu. Bahkan bentuk rambut personil di sebelah kanan pun SAMA.

Dan menurut berita yang dipublikasikan detik.com ini dan ini, mereka ngga berniat nyontek.
Sesaat... Saya coba berpikir positif dan ngga su'uzhon.
Tapi.. kok sulit sekali ya.

Maaf ya, mas Tetan Cobain (desainer sampul ini, entah namanya orisinil atau dia penggemar Kurt Cobain). Saya kok kurang percaya kalo desain mas ngga "terinspirasi" dari desain sampul The Donnas ini.

July 11, 2007

Biar Dunia Semakin Berwarna

Baru-baru ini saya merasakan langsung yang namanya diskriminasi dan ‘pengecapan’ terhadap satu komunitas. Kalau biasanya saya hanya mendengar atau menyaksikan diskriminasi, kali ini saya mengalami sendiri ‘pengecapan’ itu.


Soul For Indonesian Earth

Ceritanya begini. Sabtu lalu, tanggal 7 bulan 7 tahun 2007, saya, kakak, dan beberapa teman datang ke acara Soul For Indonesian Earth (SoulFIE) yang diadakan di Senayan. Disana, ada sekitar 50-an grup musik dan penyanyi yang tampil untuk sekalian kampanye tentang pencegahan pemanasan global (Salut banget! Kampanye ini saya dukung banget!). Dari sekian banyak artis (Maliq, Glenn, The Adams, Project Pop, Naif, Gita Gutawa, Tompi, Marcell, Cokelat, Ras Muhammad, dan masih banyak lagi. Tiket cuma Rp25.000,00. Yang ngga dateng, rugi banget. :D), yang paling saya tunggu-tunggu adalah penampilan band yang terkenal akan kostum berwarna-warni mencrang (=terang) dan a la jaman dulu, The Upstairs.

Saya bilang pada teman-teman, saya datang untuk The Upstairs. Hadir untuk berdansa bersama mereka. Beberapa teman saya tertawa, mungkin mengira saya bercanda. Atau mungkin belum percaya. :) Satu teman lagi bahkan melongo tak percaya. Mempertanyakan keseriusan saya. Dan berkali-kali menanyakan ulang, “Lo serius suka The Upstairs?”

Awalnya saya ketawa aja. Menertawakan ketidakpercayaan mereka. Setelah saya ditanya hal yang sama beberapa kali, saya mulai kesal. Memang kenapa sih?


“Untuk dinikmati kaum rendahan”

Dari pertanyaan-pertanyaan dan mimik wajah teman yang saya lihat inilah saya semakin yakin, bahwa The Upstairs adalah salah satu band yang mendapat cap negatif dari masyarakat umum yang bukan penggemar mereka. Kesan yang saya dapat dari teman saya, The Upstairs itu band untuk kaum rendahan yang penggemarnya otomatis kaum rendahan juga. Komunitas penggemar The Upstairs itu vandalis. Suka mengacau. Dipermanenkan seperti itu.

Akibatnya, orang dari kalangan berbeda seakan ‘dilarang’ menyukai The Upstairs. Musik mereka ngga ‘berkelas’. Musik yang ditahan petugas ketika hendak melewati sensor pintu pergaulan kelas menengah. Sampai dibuat ruang khusus untuk mengisolasi pendengarnya yang bukan dari kelas sosial tertentu. Begitu parahnya diskriminasi sosial yang terjadi di masyarakat urban saat ini, sampai musik pun dibuatkan kelas berdasarkan pendengarnya.

Padahal, kan ngga semua penggemar The Upstairs kayak yang saya sebut di atas. Ngga semua vandalis. Bahkan, kebanyakan hanya ingin berdansa. Contohnya di acara kemaren (SoulFIE), Modern Darling yang datang ngga ada yang bikin rusuh kok... Sayangnya cap 'pengacau' itu udah dibubuhkan kepada para Mod oleh beberapa kalangan yang menilai berdasarkan satu kejadian aja...

Padahal (lagi), selera musik kan selera pribadi. Apresiasi terhadap musik ngga bisa dikekang. Pilihan orang terhadap musik yang didengarnya ngga boleh dibatasi. Mengutip pendapat teman saya tentang film yang awalnya tidak saya setujui: “Boleh aja lo menilai sebuah karya itu bagus/nggak. Karena ada kriterianya.” Misalnya, lagu “ABCDEFG” itu jelek, karena harmonisasi gitar dengan vokal yang ngga pas. Karena lirik yang ngga cocok sama aransemennya. Sekali lagi, dengan alasan dan kriteria yang jelas. Itu soal penilaian kualitas. Bukan soal selera.

Dan menilai secara objektif sebuah karya berbeda dengan menilai selera orang lain. Itu pandangan subjektif. Menilai selera si A jelek, selera si D rendah. Ngga ada selera yang jelek, yang ada itu perbedaan selera. Ya, kayak perbedaan pandangan pada umumnya. Iya nggak, sih? Kalau menurut saya sih iya.


Biar dunia semakin berwarna…

Pengecapan dan pencitraan jelek ini ngga cuma dilakukan orang banyak terhadap The Upstairs sih, masih banyak yang lain. Contoh yang lain? Musik dangdut. Musik ini dari jaman saya SD (bahkan sebelumnya) udah dicap untuk kalangan rendah, sampe banyak teman saya yang jadi antidangdut karena pengecapan ini, dan punya kesamaan dalam mengisi biodata atau ‘lembar persahabatan dan kesan-pesan’ yang sering beredar di jaman SD dulu. Ada kolom seperti ini:

Musik favorit: Semua kecuali dangdut.
Atau

Musik yang disukai: Spice Girls (jaman saya SD banget)
Musik yang tidak disukai: Dangdut (kadang dibubuhi tambahan ‘dan keroncong’)

Tragis? Ngga juga sih, lucu aja. Soalnya jaman SD dulu itu saya hampir ngga pernah denger musik dangdut. Kata teman-teman, musik dangdut itu norak. Tapi waktu saya tanya teman-teman pengisi biodata ini, keadaan mereka juga mirip-mirip dengan saya, ngga pernah dengar lagu dangdut. Mungkin ada yang pernah dengar dangdut, tapi baru satu-dua lagu. Alasan mereka menulis dangdut di kolom ‘yang tidak disukai’? Karena dangdut itu musik kesukaan asisten rumah tangga mereka. Hahaha… Jaman SD yang polos dan menyenangkan.

Memang sih, menghakimi selera orang itu yang paling enak. Secara ngga sadar, saya juga masih suka melakukannya. Seperti kalo nonton acara mode di saluran E!, kadang saya suka berkomentar, “Ih, kok baju kayak gitu dipake sih.” Padahal atasan sama bawahan cocok-cocok aja, saya cuma ngga suka sama gaya berpakaiannya. Dan setelah itu saya pun memarahi diri sendiri. Wong orang itu suka kok make baju kayak gitu. Biarin aja lah. Biar dunia semakin berwarna.


Malam itu banyak sekali Modern Darling (sebutan untuk komunitas penggemar The Upstairs—yang 'berdansa resah' mengikuti musik dan seringkali berpakaian seperti idolanya) yang datang ke acara tersebut. Jangan tanya tentang pakaian yang mereka pakai. Direncanakan matang-matang dari atas sampai bawah. Saya bahagia.

Ya, saya penggemar The Upstairs.


Saya menikmati music new wave mereka. Saya ikut bernanyi bersama Jimi, memejamkan mata menikmati gebukan drum Beni. Mencoba mendalami makna lirik yang mereka tulis. Bergoyang mendengar hentakan disko yang mereka alunkan.

Dan saya bangga dengan musik pilihan saya.

June 18, 2007

Caraku, Caramu

Beberapa minggu lalu, waktu lagi makan siang di rumah (sambil nonton Bondan Winarno dan Gwen di tv, hehe) saya keinget sama kebiasaan makan teman saya yang unik. Dan setelah mengingat-ingat dan ngobrol-ngobrol, saya berhasil mengumpulkan beberapa kebiasaan makan beberapa orang yang unik. Beberapa contoh ini mungkin menurut anda ngga aneh, karena anda juga melakukannya. ;)

1. Mayones dan Meses
Saya suka banget kombinasi makan roti isi campuran mayones dan meses. Ibu saya bilang kebiasaan ini 'menyeramkan' tapi menurut saya enak banget lho. Lebih enak lagi kalo mayonesnya dingin. Hmmm.

2. Nugget dan Kecap
Nah, kalo ini kebiasaan temennya teman-saya. Dia suka makan nugget ayam yang dibekuin itu pake kecap manis. Hahaha. Walaupun menurut standar saya kebiasaan ini ngga terlalu aneh (karena saya makan kornet pake kecap juga dan mungkin kalau diganti nugget jadi enak), teman saya menganggapnya amat sangat aneh.

3. Coca Cola dan ... Apa aja
Ini kebiasaan paling mengerikan yang saya pernah tau. Ceritanya teman ibu saya ini ngga bisa makan tanpa kuah, makan apapun harus ada kuahnya. Dan kalau suatu saat dia harus makan tapi ngga nemuin sup atau makanan berkuah lainnya, dia akan membasahi makanannya dengan Coca Cola. Kebayang ngga sih gimana marahnya koki-koki Italia kalo tau ada orang makan lasagna dengan kuah Coca Cola??

4. Mie Instan dan Susu Kental Manis
Ini kebiasaan makan salah satu sahabat saya. Dia suka mencampurkan susu kental manis ke kuah mie instan (dan katanya paling enak kalo campurannya mie rasa kari ayam), katanya rasanya jadi kayak spaghetti. Duh, saya ngga ikutan deh.

5. Nasi Goreng dan Meses
"Enak! Manis-manis asin!"
Adik saya. Ngga bisa komentar lagi deh. So out of this world.

Apakah anda pernah menemukan menu-menu makanan baru hasil kombinasi yang unik seperti di atas? Bagi-bagi cerita dong. :D

June 6, 2007

Keindahan Berbahasa

Kemarin malam saya pergi ke Ciwalk, nonton Pirates of the Caribbean: At World's End bareng teman-teman ITB.

Filmnya keren, saya terhibur banget! Walaupun belum nonton Pirates yang kedua, saya ngerasa asik-asik aja... Bisa dikira-kira sih maksud ceritanya, hehe. Tapi tulisan saya kali ini bukan buat membahas film ini, karena pendapat saya tentang film ini udah saya tulis di sini.

Setelah nonton, kami ngga langsung pulang. Kenapa ngga? Karena beberapa orang di antara kami mau dapet donat J.Co gratis, yang kata teman saya Tomo bakal dibagiin di depan tokonya mulai jam 10 malem. :)

Teman-teman nonton bareng ini saya kenal dari keikutsertaan saya di sebuah acara bernama AUDC (Asian University Debating Championship) yang beberapa waktu lalu diadakan di ITB; dimana saya menjadi LO (Liaison Officer), atau penghubung antara peserta dengan panitia inti. Sebelum bisa menjadi LO AUDC kami diwawancara dulu oleh Tomo, untuk melihat kemampuan kami dalam berbicara dalam bahasa Inggris, karena peserta acara yang akan kami dampingi nanti berasal dari berbagai negara di Asia dan satu-satunya bahasa yang akan dimengerti oleh semua adalah bahasa Inggris, apalagi karena lomba debatnya juga dalam bahasa Inggris. Jadi, bisa dibilang orang-orang yang diterima menjadi LO ini adalah orang-orang yang bisa berbahasa Inggris cukup baik secara verbal.

Salah satu teman saya lalu bercerita, suatu hari dia makan bersama tiga orang LO lainnya di sebuah restoran. Kebiasaan yang kadang kami lakukan tanpa sadar ketika sedang berkumpul bersama adalah bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, dan saat makan di restoran itu mereka berempat pun mulai ngobrol menggunakan bahasa Inggris.

Setelah beberapa lama, orang-orang sekitar mereka pun mulai memperhatikan. Bukan karena mereka bikin rusuh atau berencana kabur tanpa bayar, tapi karena bahasa yang mereka pergunakan. Orang-orang yang memperhatikan itu lalu mulai menatap sinis, seakan-akan mereka bergosip tentang tamu-tamu restoran yang lain.

Ketika dua-si A dan si B-dari empat teman saya ini pulang, mereka membahas kesinisan orang-orang di restoran itu. Kira-kira begini percakapannya:

A : "Eh, lo liat ngga tadi orang ngeliatin kita sinis gitu? Kayaknya mereka ngomongin kita juga karena make bahasa Inggris ya?"
B : "Haha... Iya, gw malah denger omongan salah satu dari mereka."
A : "Oya? Denger apa?"
B : "Katanya...
'Dikasih sagu, minta kentang. Belagu, mentang-mentang'."

Waktu dengar karmina (pantun dua baris) itu, saya spontan ketawa. Lucu, kan??? Bisa-bisanya ngarang ungkapan kayak gitu.

Tapi setelah melihat ungkapan itu dari segi logika (bukan segi humor), saya pikir, kok orang-orang itu sinis banget ya.
Apa salah, bicara dengan bahasa selain bahasa nasional kita?
Kenapa harus begitu sinis jika tidak mengerti, sedangkan teman-teman saya juga tidak berbicara pada mereka?
Atau mereka merasa terintimidasi karena tidak mengerti arti percakapan teman-teman saya, dan merasa tersindir?
Kenapa harus disebut belagu, kalau maksud mereka sama sekali bukan untuk pamer kemampuan?

Kalau dilihat dari kacamata orang-orang itu, saya mengerti kenapa mereka menyebut teman-teman saya belagu; karena berbahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari masih dipandang tidak biasa oleh sebagian masyarakat.
Padahal, apa bedanya dengan kelompok orang yang berbahasa Sunda di tengah orang-orang Jakarta yang tinggal di Bandung?
Sama-sama bahasa yang tidak universal, bukan?
Kenapa orang-orang Sunda itu tidak dipandang belagu, karena bahasa mereka tidak dapat dicerna orang Jakarta?

Padahal-menurut saya-berbahasa Inggris dengan baik (tanpa dicampur aduk dengan bahasa Indonesia) bisa sangat bermanfaat buat kita. Kemampuan bahasa Inggris, saya yakin anda semua tahu, dibutuhkan di masa depan; dimana kita akan banyak berinteraksi dengan manusia dari seluruh dunia dalam masa perdagangan bebas.

Tentu saja bahasa negeri sendiri harus kita hargai, sebagai warga Indonesia yang harus bangga dan melestarikan bahasanya. Maka saya beranggapan, bahwa kebiasaan berbahasa dengan baik harus kita miliki dan tularkan pada sebanyak mungkin anggota masyarakat.

Yang saya maksud dengan berbahasa secara baik adalah dengan berusaha menggunakan satu saja bahasa dalam kalimat-kalimat yang kita gunakan, tidak mencampur-campurnya dan seenaknya membuat kata serapan baru dari bahasa asing.

Sudah terlalu sering, saya rasa, kita mendengar (atau malah berbicara) kalimat-kalimat seperti,
"Management-nya ngga bagus."
"Tune-in terus di radio ini!"
"Kafe ini nge-groove banget."

Oke, mungkin maksud orang-orang yang berbicara dua bahasa sekaligus ini baik, untuk membiasakan diri berbahasa Inggris. Tapi di mana letak penghargaan kita untuk kedua bahasa tersebut? Tidak adakah sedikit pun penghargaan terhadap guru atau tokoh pelestari bahasa, yang saya yakin gatal ingin mengoreksi dan menawarkan diksi dalam Bahasa Indonesia untuk mengubah tata bahasa semrawut orang-orang ini?

Contoh langsungnya, tiga kalimat berantakan tadi bisa langsung diberikan pilihan koreksinya:
"Manajemennya ngga bagus.", atau "Pengaturannya ngga bagus."
"Dengerin terus siaran kami!"
"Suasana kafe ini asik banget."

Tidak ada kata-kata yang terlalu 'berat' yang bisa menimbulkan kesan 'sok serius', tidak juga kata-kata yang melenceng dari makna yang dimaksud.

Saya harap makna dan harapan saya dapat anda tangkap. Maksud saya sama sekali bukan untuk menjelek-jelekkan anda yang punya kebiasaan berbahasa seperti yang saya sebut di atas, tapi hanya untuk menyadarkan anda bahwa penghargaan terhadap bahasa kita (dan juga bahasa asing) dapat kita nyatakan dengan menggunakannya secara benar.

Pasti sekali-dua kali kita pernah secara sadar atau tidak sadar berbahasa seperti ini, diri saya pun tidak terkecuali. Namun jika kita menghargai bahasa, sadarlah tiap kali mencetuskan kalimat, dan mulailah menggunakan satu bahasa saja dalam tiap kalimat. Percayalah, banyak orang yang menganggap kebiasaan dua-bahasa-dalam-satu-kalimat ini tidak indah.

Tidak menyakitkan, kok, mencoba berbahasa dengan baik dan benar. Yang dibutuhkan dari generasi muda saat ini adalah nasionalisme dan kemampuan untuk maju ke era globalisasi; membiasakan berbahasa Indonesia dengan baik bisa menjadi langkah awal menuju yang pertama, dan berbahasa Inggris dapat melancarkan jalan yang kedua.

Mari kita mulai dari diri sendiri, dan kemudian menularkannya pada orang lain.
Berpandangan global, berpikir rasional, bertindak lokal.
Jangan lagi terdengar karmina yang sinis ini:

Dikasih sagu, minta kentang.
Belagu, mentang-mentang.