"Hari ini hari kelima aku mengelilingi kota."
"Untuk apa?"
"Aku mencari seseorang yang bisa membantu."
"Aku bisa membantu."
"Tidak. Kau tak bisa."
"Katakan saja."
"Kau akan tertawa."
...
"Aku mencari penerjemah."
"Aku bisa semua bahasa di dunia!"
"Tapi ini berbeda. Aku mencari penerjemah bahasa tatapan mata."
Andai saja tatapan mata bisa benar-benar berkata-kata.
Pasti hari ini dia mengerti segalanya.
May 18, 2008
November 28, 2007
Sang Penyendiri
Dilihat dari beberapa sisi, saya adalah seorang individualis.
Saya menikmati berjalan sendiri di tengah pusat perbelanjaan.
Tak segan mengarungi jam-jam panjang di perjalanan tanpa teman.
Saat makan pun, tak janggal ketika harus menikmati seorang diri.
Inilah kebebasan saya.
Rasanya nyaman bisa mengerjakan apapun yang saya suka.
Selama apapun.
Tak ada yang mengusik atau berseru minta ditunggu.
Berjam-jam diam tak mengapa,
memabukkan diri dalam kubang khayalan dihalalkan.
Tapi ini juga kegelisahan saya.
Pernah terlintas, takkan ada yang kehilangan jika saya terlepas.
Siapa yang tahu, kalau tak satupun rindu saat semua bersatu dan saya tak disitu?
Berburuk sangka bukan maksud saya.
Semata ingin merenung.
Saya sayang teman-teman, kanopi tempat berteduh dan mangkuk penampung lirih ketika murung.
Bahkan kantung tidur nyaman pelindung dari angin saat udara terlampau dingin.
Walau kadang tampak tak apa jika saya tak ada.
Teringat kembali ucapan ayah seorang teman:
"Meski terlihat berjuang bersama dan akan selalu ada yang bersama kita, sebenarnya kita hidup sendiri di dunia ini."
Saya menikmati berjalan sendiri di tengah pusat perbelanjaan.
Tak segan mengarungi jam-jam panjang di perjalanan tanpa teman.
Saat makan pun, tak janggal ketika harus menikmati seorang diri.
Inilah kebebasan saya.
Rasanya nyaman bisa mengerjakan apapun yang saya suka.
Selama apapun.
Tak ada yang mengusik atau berseru minta ditunggu.
Berjam-jam diam tak mengapa,
memabukkan diri dalam kubang khayalan dihalalkan.
Tapi ini juga kegelisahan saya.
Pernah terlintas, takkan ada yang kehilangan jika saya terlepas.
Siapa yang tahu, kalau tak satupun rindu saat semua bersatu dan saya tak disitu?
Berburuk sangka bukan maksud saya.
Semata ingin merenung.
Saya sayang teman-teman, kanopi tempat berteduh dan mangkuk penampung lirih ketika murung.
Bahkan kantung tidur nyaman pelindung dari angin saat udara terlampau dingin.
Walau kadang tampak tak apa jika saya tak ada.
Teringat kembali ucapan ayah seorang teman:
"Meski terlihat berjuang bersama dan akan selalu ada yang bersama kita, sebenarnya kita hidup sendiri di dunia ini."
November 19, 2007
Ketika Kekuatan Prinsip Hidup Diuji
Salah satu masalah yang hangat dibicarakan di antara saya dan teman-teman perempuan saya akhir-akhir ini adalah soal hubungan (pacaran) dengan lelaki yang berbeda agama. Pasalnya, dua orang di antara kami (termasuk saya) sedang mengalami dilema dalam mengambil sikap menghadapi hal ini.
Saya belum pernah berada di situasi ini sebelumnya. Dari dulu saya belum pernah tertarik pada laki-laki yang memiliki kepercayaan berbeda, dan selalu berusaha untuk tidak tertarik. Namun satu orang ini benar-benar menarik perhatian saya, dan hampir membuat saya benar-benar menyukainya.
Yang terjadi kemudian, hati saya mulai ragu. Dan otak saya mulai mencari pembenaran.
"Saya menolak berpacaran dengan seseorang yang berbeda keyakinan karena saya ingin menikah dengan seseorang yang seiman." Kenapa harus menolak sementara sekarang saya belum ingin menikah?
"Saya hanya ingin membina hubungan dengan lelaki seiman karena saya tidak mau membina hubungan yang pasti harus berakhir." Mengapa harus menolak, padahal pasti banyak manfaat yang bisa saya peroleh dari hubungan tersebut?
Lalu mulailah suasana hati saya menjadi galau. Mulai bimbang sampai akhirnya saya menghubungi seorang sahabat lewat sms dan meminta pendapatnya. Teman saya ini lalu mengatakan,
Saya belum pernah berada di situasi ini sebelumnya. Dari dulu saya belum pernah tertarik pada laki-laki yang memiliki kepercayaan berbeda, dan selalu berusaha untuk tidak tertarik. Namun satu orang ini benar-benar menarik perhatian saya, dan hampir membuat saya benar-benar menyukainya.
Yang terjadi kemudian, hati saya mulai ragu. Dan otak saya mulai mencari pembenaran.
"Saya menolak berpacaran dengan seseorang yang berbeda keyakinan karena saya ingin menikah dengan seseorang yang seiman." Kenapa harus menolak sementara sekarang saya belum ingin menikah?
"Saya hanya ingin membina hubungan dengan lelaki seiman karena saya tidak mau membina hubungan yang pasti harus berakhir." Mengapa harus menolak, padahal pasti banyak manfaat yang bisa saya peroleh dari hubungan tersebut?
Lalu mulailah suasana hati saya menjadi galau. Mulai bimbang sampai akhirnya saya menghubungi seorang sahabat lewat sms dan meminta pendapatnya. Teman saya ini lalu mengatakan,
"Emang situasi yang sulit dihadapi, tapi ada satu yang harus lo pegang, yaitu prinsip. Lo lagi dites, seberapa kuat lo pegang prinsip lo."
Saya setuju, ini memang masalah kekuatan hati dan keteguhan pada prinsip.
Tapi saya selalu percaya, menyukai siapapun tidak salah. Siapa yang bisa memilih orang yang disayangi, sementara hati bekerja independen bersama nurani? Siapa yang bisa menolak perasaan yang muncul, sementara tak ada kuasa pada diri untuk menghentikan keinginan diri?
Yang membuatnya seakan salah adalah keadaan dan budaya, dimana semua orang berlomba menghakimi dan mengotak-kotakkan manusia.
Saya tidak menganggap diri saya religius, namun lebih pada humanis.
Tetapi saya memandang agama sebagai sesuatu yang penting untuk dipegang dalam hidup.
Saya tidak merasa bersalah. Tapi juga tidak merasa benar.
Penolakan saya diuji, ketika saya sudah berada di dalam keadaan yang saya tentang itu.
Ternyata menjadi orang yang prinsipil tidak semudah yang saya kira.
Tapi saya selalu percaya, menyukai siapapun tidak salah. Siapa yang bisa memilih orang yang disayangi, sementara hati bekerja independen bersama nurani? Siapa yang bisa menolak perasaan yang muncul, sementara tak ada kuasa pada diri untuk menghentikan keinginan diri?
Yang membuatnya seakan salah adalah keadaan dan budaya, dimana semua orang berlomba menghakimi dan mengotak-kotakkan manusia.
Saya tidak menganggap diri saya religius, namun lebih pada humanis.
Tetapi saya memandang agama sebagai sesuatu yang penting untuk dipegang dalam hidup.
Saya tidak merasa bersalah. Tapi juga tidak merasa benar.
Penolakan saya diuji, ketika saya sudah berada di dalam keadaan yang saya tentang itu.
Ternyata menjadi orang yang prinsipil tidak semudah yang saya kira.
"Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace"
John Lennon - Imagine
September 23, 2007
Gadis berdiri di depan pintu, menonton anak-anak main dampu. Gadis tersenyum. Manis sebentar, lalu kembali hambar.
Siang terang-benderang. Pria duduk di depan televisi, merasa tak berarti. Sungguh pikiran sedang mengawang, tak tergoda hiburan yang sedang tayang.
Gadis ke ruang keluarga. Mengambil koran, mencari yang berkenan. Sejurus merasa ketus, tak menemukan judul berbunyi bagus.
Pria agak resah. Bolak-balik jalan tak berarah. Pembantu ingin bertanya mengapa gundah, tapi takut kena marah.
Gadis dipanggil bapak. "Ke perempatan beli sus, yang tadi dimakan tikus."
Terima uang keluar rumah, tapi belok salah arah.
Ada telepon untuk pria. Dari teman lama. Cuma bilang malam ini tidak jadi datang. Pria kecewa. Sendiri tak mungkin menghapus, teringat terus.
Bapak marah. "Yang mudah saja salah". Gadis pergi dengan murung. Mencari tempat merenung.
Pria pergi sendiri. Mengemudi hati-hati. Jalan penuh kendaraan. Sengaja pelan, biar aman. Teringat lagi yang terjadi di jalan ini.
Gadis tergesa-gesa. Panas membara. Sebentar-sebentar melambat, teringat yang sudah lewat.
Belok kanan di persimpangan. Lapangan ramai sekali, orang-orang main voli. Pria turun dari Yamaha, melangkah ke utara.
Gadis sampai tujuan. Berjalan ke selatan. Menuju pepohonan.
Pria terkesima. Menatap tak percaya.
Gadis hampir jatuh. Mengira diri sedang bermimpi.
Tak mungkin khayalan yang bikin. Tak bisa sebegini nyata. Itu kalung dari Pria. Dan jam tangan itu persis seperti hadiah Gadis.
Gadis di tengah lapangan.
Pria lari mendekati.
Keduanya terpana. Senyum dikulum. Amarah merendah. Bahagia gegap gempita.
Terik mentari tak terasa lagi.
Dan kemana pergi semua gundah di hati?
Siang terang-benderang. Pria duduk di depan televisi, merasa tak berarti. Sungguh pikiran sedang mengawang, tak tergoda hiburan yang sedang tayang.
Gadis ke ruang keluarga. Mengambil koran, mencari yang berkenan. Sejurus merasa ketus, tak menemukan judul berbunyi bagus.
Pria agak resah. Bolak-balik jalan tak berarah. Pembantu ingin bertanya mengapa gundah, tapi takut kena marah.
Gadis dipanggil bapak. "Ke perempatan beli sus, yang tadi dimakan tikus."
Terima uang keluar rumah, tapi belok salah arah.
Ada telepon untuk pria. Dari teman lama. Cuma bilang malam ini tidak jadi datang. Pria kecewa. Sendiri tak mungkin menghapus, teringat terus.
Bapak marah. "Yang mudah saja salah". Gadis pergi dengan murung. Mencari tempat merenung.
Pria pergi sendiri. Mengemudi hati-hati. Jalan penuh kendaraan. Sengaja pelan, biar aman. Teringat lagi yang terjadi di jalan ini.
Gadis tergesa-gesa. Panas membara. Sebentar-sebentar melambat, teringat yang sudah lewat.
Belok kanan di persimpangan. Lapangan ramai sekali, orang-orang main voli. Pria turun dari Yamaha, melangkah ke utara.
Gadis sampai tujuan. Berjalan ke selatan. Menuju pepohonan.
Pria terkesima. Menatap tak percaya.
Gadis hampir jatuh. Mengira diri sedang bermimpi.
Tak mungkin khayalan yang bikin. Tak bisa sebegini nyata. Itu kalung dari Pria. Dan jam tangan itu persis seperti hadiah Gadis.
Gadis di tengah lapangan.
Pria lari mendekati.
Keduanya terpana. Senyum dikulum. Amarah merendah. Bahagia gegap gempita.
Terik mentari tak terasa lagi.
Dan kemana pergi semua gundah di hati?
August 23, 2007
Perpisahan
Pagi ini saya mendapat kabar buruk dari ibu saya lewat telepon.
Cilik-anjing saya yang kecil-sakit di rumah.
Demam, menggigil, dan diam, padahal biasanya hiperaktif.
Saya khawatir sekali, takut sakitnya semakin parah.
Dan satu jam kemudian, ketakutan saya betul-betul terjadi.
Cilik meninggal siang ini, kira-kira pukul 11 siang...
Cilik, anjing saya yang baru berusia tujuh bulan.
Cilik, yang merupakan wujud dikabulkannya keinginan saya selama ini, yaitu ingin punya anjing kecil...
Cilik, anjing yang selalu membuat saya kangen ingin bertemu, dan ingin membawanya ke Bandung untuk tinggal bersama saya...
Cilik, anjing yang pintar namun belum terlatih...
Anjing yang hiperaktif karena belum dewasa...
Yang selalu berlari menghampiri saat saya datang...
Yang selalu memanggil bila ditinggal...
Yang menangis bila kesepian...
Anjing yang benar-benar saya sayangi.
You'll always be in my heart, Cil...
Semoga sekarang kamu tenang dan bahagia..
Akan selalu sayang kamu.
Akan selalu kangen kamu.
In memoriam.
"--0107 ~ 230807"
Cilik-anjing saya yang kecil-sakit di rumah.
Demam, menggigil, dan diam, padahal biasanya hiperaktif.
Saya khawatir sekali, takut sakitnya semakin parah.
Dan satu jam kemudian, ketakutan saya betul-betul terjadi.
Cilik meninggal siang ini, kira-kira pukul 11 siang...
Cilik, anjing saya yang baru berusia tujuh bulan.
Cilik, yang merupakan wujud dikabulkannya keinginan saya selama ini, yaitu ingin punya anjing kecil...
Cilik, anjing yang selalu membuat saya kangen ingin bertemu, dan ingin membawanya ke Bandung untuk tinggal bersama saya...
Cilik, anjing yang pintar namun belum terlatih...
Anjing yang hiperaktif karena belum dewasa...
Yang selalu berlari menghampiri saat saya datang...
Yang selalu memanggil bila ditinggal...
Yang menangis bila kesepian...
Anjing yang benar-benar saya sayangi.
You'll always be in my heart, Cil...
Semoga sekarang kamu tenang dan bahagia..
Akan selalu sayang kamu.
Akan selalu kangen kamu.
In memoriam.
"--0107 ~ 230807"
Subscribe to:
Posts (Atom)